KATA PENGANTAR
Alhamdulillah hanya berkat dan karunia Allah SWT,
kami dapat
menyelesaikan tugas Makalah Agama Islam yang membahas tentang “Keimanan”.
Materi yang dibahas dalam makalah ini tentang Pengertian Keimanan, Tahap dan Tingkatan Iman, serta Keyakinan,
Faktor-faktor yang mengurangi Keimanan. Kami mengucapkan banyak terima kasih
kepada Dosen kami yang telah membimbing kami menyusun makalah ini serta rekan-rekan yang kami cintai. Akhirnya tak ada
gading yang tak retak, kami sebagai penulis tentu tak luput dari kekurangan. Karena itu saran dan kritik
konstruktif berbagai pihak sangat kami harapkan demi berlangsungnya iklim
keilmuan yang sinergis dan dinamis.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang
yang ingin mendalami agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi yang
terdapat dalam agama yang dianutinya. Mempelajari teologi akan memberikan
seseorang keyakinan berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah
diumbang-ambingkan oleh perubahan zaman. Ini adalah diantara cuplikan kata-
kata pendahuluan Harun Nasution di dalam bukunya “Teologi Islam”.
Teologi Islam
bukan hanya membahas soal ketuhanan saja, tetapi juga membahas soal keimanan.
Iman adalah masalah mendasar yang dibahas di dalam aliran pemikiran Islam. Para
mutakallimin telah memberikan batasan dan pengertian yang mempunyai persamaan
dan perbedaan mengenai iman.
Perbedaan
dan persamaan konsep iman diantara mutakallimin akan lebih jelas terdapat di
dalam pendapat-pendapat lima aliran, yaitu:- Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariah, dan Maturidiah. Persamaan dan perbedaan itu cukup banyak, tetapi di
dalam makalah ini hanya akan disentuh dalam hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah ringkas timbulnya tentang konsep iman, kewajiban beriman dan amal,
serta bertambah dan berkurangnya iman.
Dalam agama Islam memiliki tiga
tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun
yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara
bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan
mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang
memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka
masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang
yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap
perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau
dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak
dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar
yang disebut akhlaqul karimah.
B. Rumusan Masalah
- Mengetahui
Hakikat Iman, ?
- Mengetahui
Hakikat Islam ?
- Mengetahui
Hakikat Ikhsan?
- Apa
Pengertian keimanan?
- Apa
Faktor-faktor Yang mengurangi keimanan?
- Bagaimana
cara meningkatkan keimanan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh
penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun. Sedangkan keimanan
dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan
buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan
serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena
kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman
memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup
Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba
telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi
pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan
tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin
adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal
merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh
manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat
Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya,
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal,
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari
rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu
dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh,
sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal
soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut
pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi).
Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak
ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak
bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang,
maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1) Diyakini dalam hati
2) Diucapkan dengan
lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai
Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1) Iman kepada Alloh
2) Iman kepada malaikatNya
3) Iman kepada kitabNya
4) Iman kepada rosulNya
5) Iman kepada Qodho dan Qodar
6) Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang
berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu
maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi
dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis,
maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah
memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal
yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah
kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka
akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi
Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri
seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya
lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak
dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran
sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori
Muslim).
2. Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu,
danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan
patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang
berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu
yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap
penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada
Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya,
demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya
kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri
kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang
tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat
dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat
bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam.
Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam
dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan
dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam
surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat
terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
1) Membaca dua
kalimat Syahadat
2) Mendirikan
sholat lima waktu
3) Menunaikan zakat
4) Puasa Romadhon
5) Haji ke
Baitulloh jika mampu.
3. Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan
disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang
nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan
syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua
pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul
karimah
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah
potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh
malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah
engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh
melihatmu…..
Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan
Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh
seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu
maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul
kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan
atau berbuat baik.
Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut,
disini, akan dibahas hubungan timbal balik antara ketiganya. Iman yang
merupakan landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi dalam
keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri
diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong,
lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan
tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin
tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain
sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena
iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal
perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi
iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan
semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam
kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم
الله وجهه إن الإيمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى
يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى
يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu
terlihat seperti sinar yang putih, apabila seorang hamba melakukan
kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh dan bertambah sehingga hati
(berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila
seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan
bertambah hingga hitamlah (warna) hati.
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah,
bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah.
Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah,
bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga
dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi
larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai
plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita
hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja,
menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah
hakikat dari ihsan.
4. Keimanan dalam agama Islam
Keimanan sering disalah pahami dengan
'percaya', keimanan dalam Islam diawali dengan usaha-usaha memahami kejadian
dan kondisi alam sehingga timbul dari sana pengetahuan akan adanya Yang
Mengatur alam semesta ini, dari pengetahuan tersebut kemudian akal akan
berusaha memahami esensi dari pengetahuan yang didapatkan. Keimanan dalam
ajaran Islam tidak sama dengan dogma
atau persangkaan tapi harus melalui ilmu dan pemahaman.
Implementasi dari sebuah keimanan
seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya
yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai
akhlak mahmudah.Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap
jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Sebagai
umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti
yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna.
Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak
rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan
akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran
[10:36] Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan.
Adapun sikap 'percaya' didapatkan
setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta visi konsep
kehidupan yang dibawakan. Percaya dalam Qur'an selalu dalam konteks sesuatu
yang ghaib, atau yang belum terrealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman
dalam tingkat paling rendah adalah mempercayai perjuangan para pembawa risalah
dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia yang dalam Qur'an disebut
dengan 'surga', serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan
'neraka'.
Dalam tingkat selanjutnya orang yang
beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din
Islam.
Adapun sebutan orang yang beriman adalah
Mu'min
Tahap dan Tingkatan Iman serta Keyakinan
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:
- Dibenarkan
di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)
- Diikrarkan
dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
- Diamalkan
(merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)
Tingkatan
Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:
- Ilmul
Yaqin (berdasarkan ilmu)
- 'Ainul
Yaqin (berdasarkan ilmu dan bukti-bukti akan Kebenaran)
- Haqqul
Yaqin (berdasarkan ilmu, bukti dan pengalaman akan Kebenaran)
1.
Berkurangnya iman dengan meninggalkan
sifat-sifat kesempurnaanya
Disamping
dalil-dalil yang menunjukkan bertambahnya keimanan adapula dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa keimanan sempurna sangat berat sehingga banyak pula
dalil-dalil yang menafikan keimanan yang sempurna dari seseorang yang berbuat
kemaksiatan-kemaksiatan. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- :
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal”
(Al-Anfaal:2)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”
(Al-Hujuraat:15)
Kalimat “inna
maa” merupakan “harfu hashrin” yang mengurung sesuatu pada sesuatu.
Sehingga makna ayat di atas adalah; hanya saja yang dikatakan mukmin adalah
orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya, lain tidak. Atau yang disebut
mukmin adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya,
yang tidak demikian tidak dikatakan orang mukmin. Oleh karena itu sebagian
manusia mengira dengan kaku bahwa yang tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut
di atas adalah kafir. Padahal para ulama ahli tafsir memahami bahwa yang
dikurung dengan sifat-sifat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya, maka
makna ayat diatas adalah: “Sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah….”.
atau “Hanya saja mukmin hakiki adalah….:. dengan demikian orang yang tidak
memiliki sifat-sifat diatas belum tentu kafir, yang pasti bukan mukmin yang
sempurna imannya.
Maka jika tidak
seperti yang Allah gambarkan di dalam ayat-ayat di atas ada dua kemungkinan;
bisa jadi tidak memiliki keimanan alias kafir (munafiq) atau kemungkinan yang
kedua, ia adalah seorang yang memiliki iman yang lemah dan tidak sempurna alias
belum mencapai gambaran yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat di atas.
Dalam ayat
lainnya Allah sifatkan pula orang-orang beriman dengan rinci yaitu di awal
surat Al-Mu’minuun:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam
salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka
miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya,
dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang
akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya”. (Al-Mu’minuun 1-11)
Dalam ayat di
atas juga menggambarkan orang yang beriman dengan sebenar-benar keimanan,
sehingga orang yang tidak khusyu shalatnya bukan berarti tidak mukmin namun
tidak sempurna keimanannya. Demikian pula yang belum meninggalkan
perbuatan-perbuatan laghwun, yaitu perbuatan sia-sia bukan berarti
kafir, namun orang yang belum sempurna keimananya dan begitulah seterusnya.
Hingga apabila mereka meninggalkan dasar-dasar keimanannya seperti membatalkan
syahadat dengan syirik besar, atau membatalkan syahadat kedua dengan beriman
ke[ada nabi-nabi palsu atau ingkar kepada rukun-rukun iman maka ia kafir dan
hilang imannya sama sekali.
Dengan
keterangan tersebut berarti kita mengenali ada dua model keimanan, yaitu;
keimanan yang sempurna dan keimanan yang lemah. Sedangkan kelemahan itu
relatif; ada yang dekat pada kesempurnaan, ada pula yang di bawahnya dan di
bawahnya, ada pula yang sangat lemah mendekati kekufuran. Jika kita lihat
ayat-ayat di atas dan kita tanyakan mana yang lebih lemah, apakah seseorang
yang tidak khusyu dalam shalatnya atau yang tidak khusyu dan tidak meninggalkan
perbuatan sia-sia atau seseorang yang disamping tidak khusyu, tidak
meninggalkan perbuatan sia-sia juga dia jatuh ke dalam zina dan tidak menjaga
kemaluannya dari yang haram. Tentunya secara fiqih, mereka yang meninggalkan
sifat-sifat kesempurnaan iman berarti dia lebih jauh dari kesempurnaan dan
lebih lemah imannya. Inilah yang kita namakan berkurangnya keimanan. Para ulama
menyebutkan bahwa keimanan akan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan,
semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan, maka akan semakin berkurang
keimanannya.
Berkata Imam
Abu Utsman Ash-Shaabuni -rahimahullah- : “Di antara madzhab
Ahlul-Hadits adalah bahwa iman merupakan ucapan, amalan, dan pengenalan
(terhadap Allah), bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena
kemaksiatan”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:264)
Imam
Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya
tentang makna bertambah dan berkurangnya iman? Kemudian beliau menjawab dengan
menukilkan ucapan dengan sanadnya sampai kepada ‘Umair bin Hubaib -rahimahullah-,
dia berkata: “Iman bertambah dan berkurang”. Maka dia ditanya, “Bagaimana
bertambah dan berkurangnya?” Dia menjawab: “Jika kita ingat Allah, memuji-Nya,
bertasbih kepada-Nya, maka demikianlah bertambahnya. Dan jika kita lalai,
melupakan-Nya, menyia-nyiakan-Nya maka itulah berkurangnya”. (Aqidatus-Salaf
wa Ashabul-Hadits, hlm:265-266)
Demikian pula
kita katakan hadits-hadits yang menafikan keimanan dari orang yang belum
mengerjakan sifat-sifat kesempurnaan iman, seperti ucapan Rasulullah -salallahu’alaihi
wa sallam- : “Tidak beriman salah seorang kalian hingga engkau menyukai
untuk saudaramu apa-apa yang engkau sukai dari dirimu”. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam hadits ini
Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- memberikan syarat yang sangat
berat yaitu menyukai untuk saudaranya apa yang disukai oleh dirinya, namun
apakah bermakna orang yang egois yang mementingkan diri sendiri adalah kafir?
Tentu tidak.
Dan sabda Rasulullah
-shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya:
“Tidak
beriman seseorang di antara kalian hingga menjadikan aku lebih dicintai
daripada anaknya, orangtuanya atau seluruh manusia lainnya”.
(Muttafaq’alaih)
Para ulama
memahami ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- “tidak beriman”
adalah tidak beriman dengan keimanan yang sempurna.
2.
Berkurangnya iman dengan mengerjakan dosa-dosa
Dan
ucapan-ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya yang
meniadakan keimanan bagi orang yang melakukan dosa-dosa tertentu:
“Demi Allah
tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Seseorang
bertanya, “Siapakah yang tidak beriman wahai Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Yaitu seseorang yang tetangganya merasa tidak aman karena gangguannya.” (Muttafaq’alaih)
Tentunya
bukan bermakna kafir tetapi memiliki keimanan yang sempurna atau menurunnya
keimanannya, yang demikian karena sudah disebutkan secara jelas di dalam
Al-Quran pembatal-pembatal keimanan diantaranya kesyirikan yang besar. Dan juga
telah dijelaskan bahwa dosa-dosa selain syirik masih ada kemungkinan
diampuni.
Allah
-Subhanallahu wa Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa:48)
3.
Berkurangnya iman dengan meninggalkan cabang-cabang keimanan
Dalam
riwayat yang lainnya Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
“Iman
itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih cabang, yang paling tinggi adalah Laa
Ilaaha Illallah, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan di jalan.
Dan malu adalah bagian dari iman”. (Muttafaq’alaih)
Maka di dalam
hadits diatas Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa
iman memiliki sekian cabang, yang paling tingginya adalah ucapan laa ilaaha
illallah yang paling rendahnya adalah menghilangkan gangguan dari jalan, di
samping menunjukkan bahwa perbuatan yang baik (amal shalih) termasuk dalam
keimanan juga menunjukkan bahwa jika berkurang cabang tersebut maka berkurang
keimanannya, sampai hilang sama sekali keimanannya. Hingga jika hilang cabang
yang utama yaitu laa ilaaha illallah maka hilanglah keimanannya secara
keseluruhan.
Sufyan
bin ‘Uyainah -rahimahullah- berkata: “Iman
mencakup ucapan dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang”.
Kemudian saudaranya yaitu Ibrahim bin ‘Uyainah bertanya kepadanya:
“(Apakah juga) berkurang?” Maka dia menjawab: “Diamlah kamu wahai anak kecil!
Tentu saja bisa berkurang, sampai-sampai tidak bersisa sama sekali”. (Aqidatus-Salaf
wa Ashabul-Hadits, hlm:270-271).
6.
10 Langkah untuk
meningkatkan keimanan
Setiap anak yang baru lahir mengetahui
bahwa Tuhannya hanya satu yaitu Allah Swt., tidak peduli keyakinan apa yang
dipeluk oleh kedua orang tuanya. Namun bukan berarti seorang anak yang lahir
dengan fitrah seperti itu, atau keyakinan alami, ketika nanti dia tumbuh besar
akan menjadikannya seorang Muslim yang baik dan beriman.
Sudah menjadi tugas setiap Muslim untuk menjaga dan mengevaluasi kadar
keimanannya. Artinya seseorang harus secara rutin menjaga imannya dan mengamati
apakah kadar keimanannya berkurang atau bertambah dan mencari tahu apa
sebabnya. Seandainya kadar keimanannya berkurang, maka ia harus meningkatkannya
sebelum benar-benar turun hingga bisa menghancurkan hatinya. Terdapat banyak
cara untuk meningkatkan kadar keimanan seseorang dan perbuatan-perbuatan itu
termasuk di dalamnya dengan memperbanyak berbuat baik dan menghindari perbuatan
dosa dan menjauhi orang yang mengajak kepada perbuatan dosa itu.
Ada 10 langkah yang bisa ditempuh guna meningkatkan kadar keimanan kita:
1. Membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan begitu akan membuat hati
tenang dan damai. Untuk mendapatkan manfaat yang lebih, anggap Allah sedang
berbicara dengan kita. Manusia digambarkan dalam beberapa kategori di dalam
Al-Qur'an; pikirkan kategori manusia seperti apa kita.
2. Menyadari kebesaran Allah Swt. Semuanya berada dalam kendali-Nya. Terdapat
banyak tanda-tanda kebesaran-Nya yang bisa kita saksikan. Semua yang terjadi
merupakan kehendak-Nya. Allah Swt. melihat dan mencatat segala sesuatu, bahkan
seekor semut hitam yang berada di bebatuan hitam di dalam malam yang gelap
gulita tanpa sinar bulan tetap akan terlihat dan dicatat.
3. Berusahalah untuk menambah pengetahuan, setidaknya sesuatu yang dasar dalam
hidup kita misalkan bagaimana berwudhu yang benar. Mengetahui makna di balik
nama-nama Allah dalam asmaul husna. Orang yang bertaqwa adalah mereka yang
berilmu.
4. Menghadiri majelis-majelis yang di dalamnya berisi kegiatan untuk mengingat
Allah. Dalam majelis seperti itu kita akan dikelilingi oleh para malaikat.
5. Kita harus memperbanyak perbuatan baik. Satu perbuatan baik akan diikuti
oleh perbuatan baik lainnya. Allah Swt. akan mempermudah jalan bagi seseorang
yang melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik harus dilakukan secara terus
menerus bukan cuma sesekali saja.
6. Kita harus takut akan kematian; mengingat mati akan membuat kita takut untuk
berbuat kesenangan.
7. Mengingat beberapa tingkatan akhirat, contohnya ketika kita di dalam kubur,
ketika kita diadili atau ketika kita di surga atau neraka.
8. Berdoa, sebagai realisasi bahwa kita membutuhkan Dia. Tundukkan diri kita
dan jangan iri terdapat sesuatu yang berbau materi yang ada di dunia ini.
9. Cinta kita kepada Allah Swt. harus ditunjukkan dalam bukti nyata. Kita
mengharap Allah akan menerima semua ibadah kita, dan menghindarkan kita dari
berbuat dosa. Sebelum tidur, kita harus merenungkan perbuatan baik apa saja
yang telah kita lakukan pada hari ini.
10. Menyadari dampak dari dosa dan ketidaktaatan- kadar keimanan seseorang akan
meningkat dengan cara berbuat baik dan kadar keimanan kita akan menurun apabila
berbuat maksiat. Semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Ketika musibah
menimpa kita- itupun berasal dari Allah Swt. Dan merupakan akibat langsung dari
ketidaktaatan kita kepada-Nya.
BAB III
KESIMPULAN
Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama
islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan
karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa
dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak
didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai
kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari
Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah
Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010)
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin
Abdullah, Ensiklopedia Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2010)
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali
Press, 2001)
Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan
Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004).
Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Wahhab, Muhammad bin Abdul, Tiga Prinsip Dasar
dalam Islam,(Riyadh: Darussalam,2004).