Sabtu, 02 Mei 2015

Artikel Berlibur Ke Rumah Nenek

Berlibur ke Rumah Nenek
Berlibur Ke Rumah Nenek Pagi mulai menampakkan tanda-tandanya, burung-burung berkicauan merdu, bunga-bunga bermekaran, dan mentari yang telah bersinar membuatku terbangun dari tidurku. Saat itu liburan sekolah, Ibu mengajakku pergi ke rumah nenek agar tidak jenuh di rumah sekaligus refreshing dan menenangkan fikiran yang letih usai ujian. Saat itu aku lulusan SD dengan nilai yang cukup memuaskan sehingga ibu sangat senang sekali. Maka dari itulah aku diajak kerumah nenek yang berada di Gresik. Aku berangkat hari Jumat pukul 07.00 WIB. Aku dan Ibu berangkat menuju Gresik dengan kendaraan umum yaitu bis. Sewaktu di perjalanan daerah Sidoarjo, terjadi macet hingga 1 jam lamanya. Aku merasa kesal karena kendaraan yang tak kunjung berangkat. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB, aku telah sampai di terminal Surabaya. Aku dan Ibu turun untuk berganti bis yang berjurusan Wilangon Gresik. Sesampai di Wilangon, waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB, aku dan Ibu turun dan berganti angkutan lagi karena jalan menuju rumah nenek sulit dijangkau dengan bis. Jadi, aku dan Ibu menaiki mikrolet agar sampai di rumah nenek. Setelah sampai di rumah nenek, aku disambut dengan gembira oleh nenek. Lalu aku berjabat tangan dan memeluk nenek, karena aku sangat rindu pada nenek. Aku hanya bisa ke rumah nenek sewaktu liburan, sehingga aku dan Ibu hanya menginap 5 hari. Sebenarnya aku ingin waktu yang lama untuk tinggal di Gresik, namun liburan yang hanya 1 minggu membuatku menginap hanya 5 hari. Tentunya aku bisa berlamalama bermain di rumah nenek, untuk melepas rindu yang mendalam. Saat sore hari, aku di ajak nenek pergi ke Alun-alun Gresik karena sudah lama aku ke tempat itu. Pemandangan Alun-alun itu sangat indah sehingga banyak sekali yang berkunjung ke tempat itu. Beberapa jam pun telah berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 19.40 WIB. Karena malam semakin larut, aku diajak pulang oleh nenek karena sangat lelah. Sesampainya di rumah nenek, aku tertidur pulas. Hari demi hari sudah terlewatkan, kini saatnya aku pulang ke Lumajang. Aku masih ingin ada disini menemani nenek. Namun liburan sekolah telah habis, jadi aku segera pulang. Lain kali bila liburan seperti ini aku pasti ke rumah nenek. Banyak kenangan yang ada disana, ada yang menggembirakan, ada juga yang menyedihkan. Kenangan itu tak akan kulupakan sepanjang hidupku.









Vacation to Home Grandma
Vacationing Into Grandma's house the morning began to show signs, melodious sound of birds, the flowers are blooming, the sun has been shining and woke me up from my sleep. When the school holidays, Mother asked me to go to grandma's house so as not to saturate at home at once refreshing and soothing tired minds after the exam. When I graduated from elementary school with grades that are satisfactory to the mother very happy. That is why I asked the grandmother's house which is located in Gresik. I'm leaving on Friday at 07.00 pm. Mom and I went to Gresik with public transport ie buses. While on the trip Sidoarjo region, there are traffic jams of up to 1 hour duration. I feel upset because vehicles that never leave. It was already 12.00 pm, I was up at the terminals of Surabaya. Mom and I go down to the bus switch majors Wilangon Gresik. Once Wilangon, time show at 13:00 pm, my mother and I went down and change transportation again because the road to Grandma's house are hard to reach by bus. So, my mother and I climbed the minibus to arrive at Grandma's house. Having arrived at the grandmother's house, I was greeted with joy by the grandmother. Then I shook hands and hugged grandma, because I really miss my grandmother. I could just to grandma's house during vacation, so my mother and I only stayed 5 days. Actually I want to stay a long time in Gresik, but only 1 week vacation that made me stay for only 5 days. Surely I can linger to play at Grandma's house, a deep longing for release. During the afternoon, I was invited to go to grandma's square because I had long Gresik to that place. The square scenery was very beautiful so that many who visit the place. Several hours have passed any, show time is at 19:40 pm. Because the night went on, I was taken home by the grandmother as very tired. Arriving at Grandma's house, I fell asleep. Day by day is missed, it's time I return to Lumajang. I still want to be here to accompany grandma. But the school holidays had expired, so I get home. The next time this holiday I would like to grandma's house. Many memories were there, there were encouraging, some are sad. The memories will never forget all my life.

Hakikat Iman Islam Ihsan

  
KATA PENGANTAR


            Alhamdulillah hanya  berkat  dan  karunia  Allah  SWT,  kami dapat
menyelesaikan tugas Makalah Agama Islam yang membahas tentang “Keimanan”.
 Materi yang  dibahas  dalam  makalah ini tentang  Pengertian  Keimanan, Tahap dan Tingkatan Iman,  serta  Keyakinan,  Faktor-faktor  yang  mengurangi Keimanan. Kami mengucapkan banyak  terima  kasih kepada  Dosen  kami yang  telah  membimbing  kami menyusun makalah ini serta  rekan-rekan  yang  kami cintai. Akhirnya  tak  ada gading  yang tak  retak,  kami sebagai  penulis tentu  tak luput  dari  kekurangan. Karena itu saran dan kritik konstruktif  berbagai pihak sangat  kami harapkan demi berlangsungnya iklim keilmuan yang sinergis dan dinamis.


















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap orang yang ingin mendalami agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutinya. Mempelajari teologi akan memberikan seseorang keyakinan berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diumbang-ambingkan oleh perubahan zaman. Ini adalah diantara cuplikan kata- kata pendahuluan Harun Nasution di dalam bukunya “Teologi Islam”.
Teologi Islam bukan hanya membahas soal ketuhanan saja, tetapi juga membahas soal keimanan. Iman adalah masalah mendasar yang dibahas di dalam aliran pemikiran Islam. Para mutakallimin telah memberikan batasan dan pengertian yang mempunyai persamaan dan perbedaan mengenai iman.
 Perbedaan dan persamaan konsep iman diantara mutakallimin akan lebih jelas terdapat di dalam pendapat-pendapat lima aliran, yaitu:- Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Persamaan dan perbedaan itu cukup banyak, tetapi di dalam makalah ini hanya akan disentuh dalam hal-hal yang berkaitan dengan sejarah ringkas timbulnya tentang konsep iman, kewajiban beriman dan amal, serta bertambah dan berkurangnya iman.
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
B.     Rumusan Masalah
  1. Mengetahui Hakikat Iman, ?
  2. Mengetahui Hakikat  Islam ?
  3. Mengetahui Hakikat Ikhsan?
  4. Apa Pengertian keimanan?
  5. Apa Faktor-faktor Yang mengurangi keimanan?
  6. Bagaimana cara meningkatkan keimanan
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.  Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan, ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam, karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak setiap muslim adalah mukmin
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga sempurnanya Iman, yaitu:
1)   Diyakini dalam hati
2)   Diucapkan dengan lisan          
3)   Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1)   Iman kepada Alloh
2)   Iman kepada malaikatNya
3)   Iman kepada kitabNya
4)   Iman kepada rosulNya
5)   Iman kepada Qodho dan Qodar
6)   Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman, sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya, mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh, membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).

2.      Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamuas-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu, sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia maupun di akhirat.
Siapa saja yang menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka ia seorang kafir yang sombong.
Dalam pengertian kebahasan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”
Berkaitan dengan Islam sebagai agama, maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu berupa rukun Islam, yaitu:
1)      Membaca dua kalimat Syahadat
2)      Mendirikan sholat lima waktu
3)      Menunaikan zakat
4)      Puasa Romadhon
5)      Haji ke Baitulloh jika mampu.

3.      Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang), seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..

Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.

Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik  antara ketiganya. Iman yang merupakan landasan awal,  bila diumpamakan sebagai pondasi dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan, puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu. Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya iman.
Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن الإيمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata : sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang  putih, apabila seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut  akan tumbuh dan bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga hitamlah (warna) hati. 
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak. Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat dari ihsan.

        4. Keimanan dalam agama Islam
Keimanan sering disalah pahami dengan 'percaya', keimanan dalam Islam diawali dengan usaha-usaha memahami kejadian dan kondisi alam sehingga timbul dari sana pengetahuan akan adanya Yang Mengatur alam semesta ini, dari pengetahuan tersebut kemudian akal akan berusaha memahami esensi dari pengetahuan yang didapatkan. Keimanan dalam ajaran Islam tidak sama dengan dogma atau persangkaan tapi harus melalui ilmu dan pemahaman.

Implementasi dari sebuah keimanan seseorang adalah ia mampu berakhlak terpuji. Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji. Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlak mahmudah.Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain adalah bersikap jujur, bertanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll. Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna. Ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab bahwa akhlak rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran
[10:36] Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Adapun sikap 'percaya' didapatkan setelah memahami apa yang disampaikan oleh mu'min mubaligh serta visi konsep kehidupan yang dibawakan. Percaya dalam Qur'an selalu dalam konteks sesuatu yang ghaib, atau yang belum terrealisasi, ini artinya sifat orang yang beriman dalam tingkat paling rendah adalah mempercayai perjuangan para pembawa risalah dalam merealisasikan kondisi ideal bagi umat manusia yang dalam Qur'an disebut dengan 'surga', serta meninggalkan kondisi buruk yang diamsalkan dengan 'neraka'. 
Dalam tingkat selanjutnya orang yang beriman ikut serta dalam misi penegakkan Din Islam.
Adapun sebutan orang yang beriman adalah Mu'min
Tahap dan Tingkatan Iman serta Keyakinan
Tahap-tahap keimanan dalam Islam adalah:
  • Dibenarkan di dalam qalbu (keyakinan mendalam akan Kebenaran yang disampaikan)
  • Diikrarkan dengan lisan (menyebarkan Kebenaran)
  • Diamalkan (merealisasikan iman dengan mengikuti contoh Rasul)
Tingkatan Keyakinan akan Kebenaran (Yaqin) adalah:
  • Ilmul Yaqin (berdasarkan ilmu)
  • 'Ainul Yaqin (berdasarkan ilmu dan bukti-bukti akan Kebenaran)
  • Haqqul Yaqin (berdasarkan ilmu, bukti dan pengalaman akan Kebenaran)

 

 

5. Faktor-Faktor yang Mengurangi Keimanan

1. Berkurangnya iman dengan meninggalkan sifat-sifat kesempurnaanya
Disamping dalil-dalil yang menunjukkan bertambahnya keimanan adapula dalil-dalil yang menunjukkan bahwa keimanan sempurna sangat berat sehingga banyak pula dalil-dalil yang menafikan keimanan yang sempurna dari seseorang yang berbuat kemaksiatan-kemaksiatan. Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal” (Al-Anfaal:2)
Dan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” (Al-Hujuraat:15)

Kalimat “inna maa” merupakan “harfu hashrin” yang mengurung sesuatu pada sesuatu. Sehingga makna ayat di atas adalah; hanya saja yang dikatakan mukmin adalah orang yang berjihad dengan harta dan nyawanya, lain tidak. Atau yang disebut mukmin adalah orang-orang yang apabila disebut nama Allah bergetar hatinya, yang tidak demikian tidak dikatakan orang mukmin. Oleh karena itu sebagian manusia mengira dengan kaku bahwa yang tidak memiliki sifat-sifat yang tersebut di atas adalah kafir. Padahal para ulama ahli tafsir memahami bahwa yang dikurung dengan sifat-sifat tersebut adalah mukmin yang sempurna imannya, maka makna ayat diatas adalah: “Sesungguhnya seorang mukmin yang sempurna adalah….”. atau “Hanya saja mukmin hakiki adalah….:. dengan demikian orang yang tidak memiliki sifat-sifat diatas belum tentu kafir, yang pasti bukan mukmin yang sempurna imannya.

Maka jika tidak seperti yang Allah gambarkan di dalam ayat-ayat di atas ada dua kemungkinan; bisa jadi tidak memiliki keimanan alias kafir (munafiq) atau kemungkinan yang kedua, ia adalah seorang yang memiliki iman yang lemah dan tidak sempurna alias belum mencapai gambaran yang Allah sebutkan dalam ayat-ayat di atas.

Dalam ayat lainnya Allah sifatkan pula orang-orang beriman dengan rinci yaitu di awal surat Al-Mu’minuun:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (Al-Mu’minuun 1-11)

Dalam ayat di atas juga menggambarkan orang yang beriman dengan sebenar-benar keimanan, sehingga orang yang tidak khusyu shalatnya bukan berarti tidak mukmin namun tidak sempurna keimanannya. Demikian pula yang belum meninggalkan perbuatan-perbuatan laghwun, yaitu perbuatan sia-sia bukan berarti kafir, namun orang yang belum sempurna keimananya dan begitulah seterusnya. Hingga apabila mereka meninggalkan dasar-dasar keimanannya seperti membatalkan syahadat dengan syirik besar, atau membatalkan syahadat kedua dengan beriman ke[ada nabi-nabi palsu atau ingkar kepada rukun-rukun iman maka ia kafir dan hilang imannya sama sekali.

Dengan keterangan tersebut berarti kita mengenali ada dua model keimanan, yaitu; keimanan yang sempurna dan keimanan yang lemah. Sedangkan kelemahan itu relatif; ada yang dekat pada kesempurnaan, ada pula yang di bawahnya dan di bawahnya, ada pula yang sangat lemah mendekati kekufuran. Jika kita lihat ayat-ayat di atas dan kita tanyakan mana yang lebih lemah, apakah seseorang yang tidak khusyu dalam shalatnya atau yang tidak khusyu dan tidak meninggalkan perbuatan sia-sia atau seseorang yang disamping tidak khusyu, tidak meninggalkan perbuatan sia-sia juga dia jatuh ke dalam zina dan tidak menjaga kemaluannya dari yang haram. Tentunya secara fiqih, mereka yang meninggalkan sifat-sifat kesempurnaan iman berarti dia lebih jauh dari kesempurnaan dan lebih lemah imannya. Inilah yang kita namakan berkurangnya keimanan. Para ulama menyebutkan bahwa keimanan akan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan, semakin banyak kemaksiatan yang dilakukan, maka akan semakin berkurang keimanannya.

Berkata Imam Abu Utsman Ash-Shaabuni -rahimahullah- : “Di antara madzhab Ahlul-Hadits adalah bahwa iman merupakan ucapan, amalan, dan pengenalan (terhadap Allah), bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:264)
Imam Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna bertambah dan berkurangnya iman? Kemudian beliau menjawab dengan menukilkan ucapan dengan sanadnya sampai kepada ‘Umair bin Hubaib -rahimahullah-, dia berkata: “Iman bertambah dan berkurang”. Maka dia ditanya, “Bagaimana bertambah dan berkurangnya?” Dia menjawab: “Jika kita ingat Allah, memuji-Nya, bertasbih kepada-Nya, maka demikianlah bertambahnya. Dan jika kita lalai, melupakan-Nya, menyia-nyiakan-Nya maka itulah berkurangnya”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:265-266)

Demikian pula kita katakan hadits-hadits yang menafikan keimanan dari orang yang belum mengerjakan sifat-sifat kesempurnaan iman, seperti ucapan Rasulullah -salallahu’alaihi wa sallam- : “Tidak beriman salah seorang kalian hingga engkau menyukai untuk saudaramu apa-apa yang engkau sukai dari dirimu”. (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits ini Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- memberikan syarat yang sangat berat yaitu menyukai untuk saudaranya apa yang disukai oleh dirinya, namun apakah bermakna orang yang egois yang mementingkan diri sendiri adalah kafir? Tentu tidak.

Dan sabda Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya:
“Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga menjadikan aku lebih dicintai daripada anaknya, orangtuanya atau seluruh manusia lainnya”. (Muttafaq’alaih)
Para ulama memahami ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- “tidak beriman” adalah tidak beriman dengan keimanan yang sempurna.

2. Berkurangnya iman dengan mengerjakan dosa-dosa
Dan ucapan-ucapan Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- lainnya yang meniadakan keimanan bagi orang yang melakukan dosa-dosa tertentu:
Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman!” Seseorang bertanya, “Siapakah yang tidak beriman wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu seseorang yang tetangganya merasa tidak aman karena gangguannya.” (Muttafaq’alaih)

Tentunya bukan bermakna kafir tetapi memiliki keimanan yang sempurna atau menurunnya keimanannya, yang demikian karena sudah disebutkan secara jelas di dalam Al-Quran pembatal-pembatal keimanan diantaranya kesyirikan yang besar. Dan juga telah dijelaskan bahwa dosa-dosa selain syirik masih ada kemungkinan diampuni. 
Allah -Subhanallahu wa Ta’ala- berfirman:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa:48)

3. Berkurangnya iman dengan meninggalkan cabang-cabang keimanan
Dalam riwayat yang lainnya Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- bersabda:
“Iman itu memiliki 70 lebih atau 60 lebih cabang, yang paling tinggi adalah Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman”. (Muttafaq’alaih)
Maka di dalam hadits diatas Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- menyebutkan bahwa iman memiliki sekian cabang, yang paling tingginya adalah ucapan laa ilaaha illallah yang paling rendahnya adalah menghilangkan gangguan dari jalan, di samping menunjukkan bahwa perbuatan yang baik (amal shalih) termasuk dalam keimanan juga menunjukkan bahwa jika berkurang cabang tersebut maka berkurang keimanannya, sampai hilang sama sekali keimanannya. Hingga jika hilang cabang yang utama yaitu laa ilaaha illallah maka hilanglah keimanannya secara keseluruhan.
Sufyan bin ‘Uyainah -rahimahullah- berkata: “Iman mencakup ucapan dan amal perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang”. Kemudian saudaranya yaitu Ibrahim bin ‘Uyainah bertanya kepadanya: “(Apakah juga) berkurang?” Maka dia menjawab: “Diamlah kamu wahai anak kecil! Tentu saja bisa berkurang, sampai-sampai tidak bersisa sama sekali”. (Aqidatus-Salaf wa Ashabul-Hadits, hlm:270-271).

6.                  10 Langkah untuk meningkatkan keimanan

Setiap anak yang baru lahir mengetahui bahwa Tuhannya hanya satu yaitu Allah Swt., tidak peduli keyakinan apa yang dipeluk oleh kedua orang tuanya. Namun bukan berarti seorang anak yang lahir dengan fitrah seperti itu, atau keyakinan alami, ketika nanti dia tumbuh besar akan menjadikannya seorang Muslim yang baik dan beriman.

Sudah menjadi tugas setiap Muslim untuk menjaga dan mengevaluasi kadar keimanannya. Artinya seseorang harus secara rutin menjaga imannya dan mengamati apakah kadar keimanannya berkurang atau bertambah dan mencari tahu apa sebabnya. Seandainya kadar keimanannya berkurang, maka ia harus meningkatkannya sebelum benar-benar turun hingga bisa menghancurkan hatinya. Terdapat banyak cara untuk meningkatkan kadar keimanan seseorang dan perbuatan-perbuatan itu termasuk di dalamnya dengan memperbanyak berbuat baik dan menghindari perbuatan dosa dan menjauhi orang yang mengajak kepada perbuatan dosa itu.

Ada 10 langkah yang bisa ditempuh guna meningkatkan kadar keimanan kita:

1. Membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan begitu akan membuat hati tenang dan damai. Untuk mendapatkan manfaat yang lebih, anggap Allah sedang berbicara dengan kita. Manusia digambarkan dalam beberapa kategori di dalam Al-Qur'an; pikirkan kategori manusia seperti apa kita.

2. Menyadari kebesaran Allah Swt. Semuanya berada dalam kendali-Nya. Terdapat banyak tanda-tanda kebesaran-Nya yang bisa kita saksikan. Semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Allah Swt. melihat dan mencatat segala sesuatu, bahkan seekor semut hitam yang berada di bebatuan hitam di dalam malam yang gelap gulita tanpa sinar bulan tetap akan terlihat dan dicatat.

3. Berusahalah untuk menambah pengetahuan, setidaknya sesuatu yang dasar dalam hidup kita misalkan bagaimana berwudhu yang benar. Mengetahui makna di balik nama-nama Allah dalam asmaul husna. Orang yang bertaqwa adalah mereka yang berilmu.

4. Menghadiri majelis-majelis yang di dalamnya berisi kegiatan untuk mengingat Allah. Dalam majelis seperti itu kita akan dikelilingi oleh para malaikat.

5. Kita harus memperbanyak perbuatan baik. Satu perbuatan baik akan diikuti oleh perbuatan baik lainnya. Allah Swt. akan mempermudah jalan bagi seseorang yang melakukan perbuatan baik. Perbuatan baik harus dilakukan secara terus menerus bukan cuma sesekali saja.

6. Kita harus takut akan kematian; mengingat mati akan membuat kita takut untuk berbuat kesenangan.

7. Mengingat beberapa tingkatan akhirat, contohnya ketika kita di dalam kubur, ketika kita diadili atau ketika kita di surga atau neraka.

8. Berdoa, sebagai realisasi bahwa kita membutuhkan Dia. Tundukkan diri kita dan jangan iri terdapat sesuatu yang berbau materi yang ada di dunia ini.

9. Cinta kita kepada Allah Swt. harus ditunjukkan dalam bukti nyata. Kita mengharap Allah akan menerima semua ibadah kita, dan menghindarkan kita dari berbuat dosa. Sebelum tidur, kita harus merenungkan perbuatan baik apa saja yang telah kita lakukan pada hari ini.

10. Menyadari dampak dari dosa dan ketidaktaatan- kadar keimanan seseorang akan meningkat dengan cara berbuat baik dan kadar keimanan kita akan menurun apabila berbuat maksiat. Semua yang terjadi merupakan kehendak-Nya. Ketika musibah menimpa kita- itupun berasal dari Allah Swt. Dan merupakan akibat langsung dari ketidaktaatan kita kepada-Nya.

BAB III
KESIMPULAN

Iman, islam dan ihsan merupakan tiga rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya, Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam. Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu sendiri.


















DAFTAR PUSTAKA

Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010)
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah,  Ensiklopedia Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010)
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2001)
Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004).
Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Wahhab, Muhammad bin Abdul, Tiga Prinsip Dasar dalam Islam,(Riyadh: Darussalam,2004).